Dalam foto ini adalah bapak kandungku. Selama bertahun-tahun lamanya dan sekian kali aku sakit baru kali ini ditungguin. Saat kecil aku pernah sakit parah, hingga harus dilarikan kerumah sakit, namun tak sekalipun terlihat menjenguk. Keterbatasan adalah kendalanya. Beliau selalu beranggapan bahwa beliau tidak memiliki apa-apa untuk membiayaiku dirumah sakit. Namun aku menghormatinya, beliau buatku seseorang yang memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi. Batapa tidak, setiap kali aku meminta do'a atau apalah buatku dan kakak selalu saja ia menjawab/ Untuk saat ini aku tidak bisa melakukannya karena sudah ada janji mendoakan orang lain atau sudah janji bekerja pada orang lain. Padahal demi anaknya sendiripun beliau tidak mau melakukannya. Kejujuran yang beliau pegang teguh hingga kini membuat hidupnyapun tak berubah. Tak pernah kata dusta terlontar. Entah apa yang ada dalam benaknya, kejujuran kadang malah menjadi bumerang baginya. Jiwa sosial dan kejujuran kadang di manfaatkan oleh orang lain. Aku kadang geram mendengar celotehan mereka memanfaatkan bapakku dan menertawakan kebodohan. Tapi itulah bapak, tak pernah satu pata kataku yang mampu menggoyahkan pemikirannya tentang kejujuran dan kesungguhan hati. Dibalik sakitku kali ini, aku baru merasahkan punya bapak. Bagaimana tidak, baru kali ini aku sakit dijenguk dan ditungguin. cckckckkckc
Ingatan nenekku masih sangat jelas hingga kini. Beliau sering bercerita saat masah penjajahan belanda nenekku hanya menggunakan karung goni sebagai pakaian. Jaman Nipon nenekku menyebutnya, dimana sebuah jaman kegelapan, tak ada cahaya yang dinyalakan saat peperangan. Walaupun keseluruhan warganya petani, namun sulit sekali mendapatkan beras untuk sekedar makan. Gula, merupakan barang yang paling mudah didapatkan. Namun gula tidak dapat dimakan. Pernah suatu saat nenekku menggunakan gula di campur dengan biji kapuk di goreng, karena tidak ada yang dapat dimakan jaman itu. Pada kenyataannya biji kapuk mengandung minyak seperti halnya biji jarak. Setelah makan, langsung mabuk. Pada jaman Nipon hasil panen selalu dirampas, hingga di sembunyikan dibawah tempat pembuangan celetong (berak sapi) masih tetap saja ketahuan. Betapa tidak ketahuan, kalau yang menjadi antek-antek adalah tetangganya sendiri.
Nenekku juga pernah bercerita pada masa G30SPKI. Ada seorang guru dan juga petinggi desa. Saat malam hari dijemput dan digelandang dari rumahnya. Dibawah kebawah pohon beringin disebuah sekolahan SD desa setempat. Mereka membunuh secara tidak manusiawi. Bukan hanya langsung digorok, namun memperlakukannya seperti menggorok Sapi. Dengan mengkeret lengan, kaki seakan ingin dikuliti seperti sapi dan menggorok rehernya. Digantung dipohon beringin, seperti menggantung seekor sapi saat setelah disembelih. Meninggalkan mayat tersebut tanpa menguburnya. Begitu tragis, namun tak diketahui apa penyebab mereka melakukan hal tersebut. Hingga kini keturunan dari pelaku G30S PKI masih ada didesaku. Namun kata nenekku, sesungguhnya semua itu telah mendapatkan balasan semasa didunia.
0 komentar:
Posting Komentar